Sabtu (18/11/2023), mulai pukul 12.30, merupakan rangkaian acara puncak dari program pengabdian Tim Program Peningkatan Kapasitas Organisasi Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (PPKO BEM KM UNY) dilaksanakan pentas persembahan seni jathilan/jaranan dari Pudhak Turonggo Mudho, menandai selesainya pengabdian PPKO BEM KM UNY di Bugel. Mahasiswa UNY dalam memberikan persembahan hiburan ini bekerjasama dengan Kundha Kabudayan DIY.
Sebelum penampilan seni jathilan, mahasiswa UNY menyampaikan kesan-pesan selama melakukan pengabdian di Bugel yang diwakili oleh Endah Rianingsih. Menurutnya, masyarakat Bugel memberikan pengalaman berharga selama pelaksanaan program peningkatan kapasitas mahasiswa, dan harapannya setelah memperoleh program-program pengabdian dari mahasiswa, Bugel menjadi kalurahan yang mandiri.
Pada kesempatan itu, Pudhak Turonggo Mudho menampilkan tarian jathilan kreasi putri dan kreasi putra, serta menampilkan seni lainnya yaitu rampak gedruk dari Minoludro. Penampilan jathilan diiringi alunan gamelan dari kelompok karawitan Mudho Budoyo dan wiraswara Marji Saputro dan Safela Fajarina.
Seni jathilan yang ditampilkan tidak hanya sekedar sebagai hiburan masyarakat, namun juga menyampaikan pesan kepahlawanan pada masa perjuangan melawan penjajah. Berdasarkan penuturan Arimoko selaku pelaku seni Bugel, tarian jathilan kreasi putri mengambil alur cerita pecahnya perang Jawa (lebih dikenal Perang Diponegoro) tahun 1825-1830. Penari putri mengambarkan sosok Nyi Ageng Serang (mantan istri Sri Sultan Hamengkubuwana II), yang memberikan realita tersendiri bagi kaum perempuan bangsawan keraton yang berani menggempur musuh yang tidak lain adalah Belanda. Nyi Ageng Serang bergabung dengan Pangeran Diponegoro (Putra Sri Sultan Hamengkubuwana III), serta memiliki kekuatan supranatural dan menguasai tak-tik perang yang hebat. Pasukannya disebut sebagai Pasukan Siluman karena sulit ditemukan dan selalu datang menyerang secara tiba-tiba.
Arimoko juga menuturkan, tarian jathilan kreasi putra mengangkat cerita pada era Perjanjian Giyanti (pecahnya Kerajaan Mataram Islam). Penari putra menggambarkan sosok Pangeran Mangkubumi yang gagah dan pemberani melawan Belanda yang mencoba ikut campur tangan urusan pemerintahan Keraton Mataram. Jaranan yang dijadikan properti dalam tarian menggambarkan saat Pangeran Mangkubumi mengendarai kuda kesayangannya yang bernama Kyai Durmosari yang merupakan kuda putih yang berjambul dan bubat (ekor) berwarna keemasan. Dari kemampuan berkuda yang dimiliki oleh Pangeran Mangkubumi ini, digambarkan strategi perang yang dikreasikan melalui gerakan tari berunsur militer, seakan-akan musuh (Belanda) mengira pasukan Pangeran Mangkubumi sedang melakukan kreasi kesenian sehingga perlawanannya tidak terbaca oleh pihak musuh. Pada masa itu, jaranan adalah bentuk kesenian yang digunakan untuk penyamaran taktik latihan perang dengan menggunakan alat kelengkapan seperti pedang, cambuk, dan tameng.(asih-arimoko)